Jumat, 30 Juli 2010
Entrok
Marni, perempuan Jawa buta huruf yang masih memuja leluhur. Melalui sesajen dia menemukan dewa-dewanya, memanjatkan harapannya. Tak pernah dia mengenal Tuhan yang datang dari negeri nun jauh di sana. Dengan caranya sendiri dia mempertahankan hidup. Menukar keringat dengan sepeser demi sepeser uang. Adakah yang salah selama dia tidak mencuri, menipu, atau membunuh?
Rahayu, anak Marni. Generasi baru yang dibentuk oleh sekolah dan berbagai kemudahan hidup. Pemeluk agama Tuhan yang taat. Penjunjung akal sehat. Berdiri tegak melawan leluhur, sekalipun ibu kandungnya sendiri.
Adakah yang salah jika mereka berbeda?
Marni dan Rahayu, dua orang yang terikat darah namun menjadi orang asing bagi satu sama lain selama bertahun-tahun. Bagi Marni, Rahayu adalah manusia tak punya jiwa. Bagi Rahayu, Marni adalah pendosa. Keduanya hidup dalam pemikiran masing-masing tanpa pernah ada titik temu.
Lalu bunyi sepatu-sepatu tinggi itu, yang senantiasa mengganggu dan merusak jiwa. Mereka menjadi penguasa masa, yang memainkan kuasa sesuai keinginan. Mengubah warna langit dan sawah menjadi merah, mengubah darah menjadi kuning. Senapan teracung di mana-mana.
Marni dan Rahayu, dua generasi yang tak pernah bisa mengerti, akhirnya menyadari ada satu titik singgung dalam hidup mereka. Keduanya sama-sama menjadi korban orang-orang yang punya kuasa, sama-sama melawan senjata.
Kisah yang menyentuh mengenai perjuangan wanita pada zaman-zaman menentukan dalam perjalanan sejarah Indonesia. Buku ini sangat penting dibaca untuk memahami orientasi nilai dalam masyarakat di tengah-tengah perubahan.
---Leon Agusta, sastrawan
Novel ini dengan jujur menggambarkan bagaimana sebagian masyarakat kita masih belum bisa menerima adanya perbedaan.
---Hendardi, aktivis demokrasi dan hak asasi manusia
Penulis dengan cemerlang berhasil mengungkapkan lika-liku dan sepak terjang kehidupan masyarakat yang kompleks di tengah kesewenang-wenangan, melalui tuturan silih berganti antara ibu dan anak perempuannya.
---Endy M. Bayuni, Pemimpin Redaksi The Jakarta Post
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar